PENYAKIT GUMBORO DAN SURRA
GUMBORO
Infectious Bursal Diseae (IBD) merupakan penyakit pada ayam yang pertama kali di laporkan oleh Cosgrove pada tahun 1962 berdasarlan kasus yang terjadi pada tahun 1957 di desa Gumboro-Delaware, negara bagian Amerika Serikat. Sesuai dengan nama asal daerah ditemukan nya. Penyakit ini dikenal juga sebagai Gumboro. Penyebab penyakit IBD adalah virus yang terbentuk Icosahedral yang terdiri dari 2 segmen untaian ganda RNA yang termasuk dalam famili Birnaviridae (LUKERT dan SAIF) 2003. Virus very virulent IBD (vvIBDv) bersifat sangat menular dan akut, menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Penyakit ini berdampak ekonomis karena menyerang organ pertahanan ayam yaitu bursa Fabricius sehingga merugikan peternak. Ayam yang terserang IBD menjadi rentan terhadap infeksi sekunder, serta mengakibatkan kegagalan vaksinasi (LUKERT dan SAIF, 2003).
Penyebaran penyakit sudah sampai ke Indonesia pada tahun 1983, ketika ditemukan kasus di Sawangan,Bogor (PARTADIREDJA et al., 1983). Pada periode tahun 1990-an, penyakit IBD telah menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia dan hasil isolasi dan identifikasi menunjukkan bahwa hampir semua isolat yang diperoleh berkerabat dekat dengan virus very virulent IBD (vvIBDv) (PAREDE etal., 2003).
Vaksinasi merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap penyakit IBD. Selama ini vaksinasi terhadap ayam khususnya ayam niaga telah dilakukan secara rutin di lapangan, namun demikian kasus IBD masih sering terjadi. Beberapa faktor diduga berkontribusi terhadap keberhasilan vaksinasi. Salah satu diantaranya adalah potensi vaksin. Pemeriksaan terhadap potensi vaksin impor komersial yang beredar di Indonesia menunjukkan bahwa beberapa vaksin tidak dapat melindungi ayam dari uji tantang terhadap virus lapangan. Potensi vaksin berkisar 0% sampai dengan 80% (SOEDIJAR dan MALOLE, 2004). Hal ini kemungkinan disebabkan virus yang digunakan sebagai vaksin mempunyai perbedaan antigenik dengan virus lapangan, karena virus IBD merupakan virus RNA sehingga mudah mengalami mutasi. KABELL et al.(2005) menyatakan bahwa virus yang sangat ganas terdeteksi pada ayam yang telah divaksinasi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa meskipun pada suatu peternakan telah rutin dilaksanakan vaksinasi namun wabah masih dapat terjadi bila strain virus vaksin yang digunakan tidak sesuai dengan strain virus di lapangan.
Tulisan ini mengulas tentang etiologi, gejala klinis,gambaran patologi, patogenesis, diagnosis, situasi IBD di Indonesia dan pengendalian penyakit IBD yang diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi peternak maupun pemerhati di bidang kesehatan unggas.VN) tetapi tidak dapat dibedakan dengan Flourescent Antibody Technique (FAT) dan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) (LUKERT dan SAIF,2003). Virus IBD berdiameter 55 nm, merupakan virus yang tidak memiliki amplop dan dikelilingi oleh protein capsid yang berbentuk ikosahedral (HIRAI dan SHIMAKURA, 1974). Virus ini tergolong dalam famili Birnaviridae. Sesuai dengan namanya, virus terdiri dari 2 segmen utas ganda RNA, yaitu segmen A mempunyai ukuran 3300 pasang basa, yang terdiri dari 2 bagian Open Reading Frame, yaitu A1 dan A2. Segmen A1 merupakan penyandi protein VP2 (40 kD),VP3 (32 kD), VP4 (28 kD). Protein VP2 dan VP3 membentuk capsid virus, VP2 membentuk bagian luar capsid, sedangkan VP3 membentuk bagian dalam capsid. Protein VP4 merupakan protease virus. Sementara itu, A2 merupakan penyandi protein nonstructural VP5 (17 kD) yang kemungkinan terlibat dalam pelepasan virus dari sel serta berperan dalam menghambat proses apoptosis pada tahap awal infeksi virus IBD (MEIHONG dan VAKHARIA, 2006). Segmen B yang berukuran lebih kecil mempunyai 2800 pasangan basa, sebagai penyandi bagi protein VP1 (VAN DENBERG, 2000).Protein VP2 dan VP3 merupakan protein utamayang masing-masing terdiri 51 dan 40% dari total protein dan mengandung epitop penetralisasi. Protein VP2 mempunyai epitop yang spesifik, yang mengandung sedikitnya 3 epitop yang bebas, yang bertanggung jawab menginduksi antibodi penetralisasi
(BECHT et al., 1998).
Hasil penelitian RAHARJO dan SUMANO menunjukkan bahwa protein VP2 virus IBD isolat lokal mampu menginduksi pembentukan antibodi dan dapat bereaksi secara spesifik dengan antibodi ayam hasil vaksinasi maupun infeksi alam. Varian alam virus IBD mengikat reseptor sel B bursa Fabricius melalui protein VP2 . Variasi antigenik virus IBD banyak dipelajari dengan cara melihat perubahan beberapa asam amino . Pada gen VP2 terdapat residu Gln pada posisi 253 ,, Asp279, dan Ala284 yang menentukan tingkat keganasan virus dan sel tropisme.
ETIOLOGI
Virus penyebab IBD yang dikenal saat ini terdiri dari 2 serotipe yaitu serotipe 1 dan serotipe 2 yang dapat menginfeksi ayam dan kalkun. Serotipe 1 yang pertama kali ditemukan disebut dengan strain klasik yang bersifat patogen dan strain yang ditemukan kemudian di daerah Amerika merupakan strain varian yang sangat ganas yaitu very virulent IBD (vvIBD).Virus IBD tersebut merupakan hasil mutasi dari virus klasik, sementara serotipe 2 tidak bersifat ganas. Kedua serotipe dapat dibedakan dengan uji virus netralisas
EPIDEMIOLOGI
Pada awalnya IBD ditemukan di daerah Delaware,Amerika pada tahun 1956, kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia baik di Amerika , Eropa Afrika,Australia dan Asia termasuk Indonesia yang disebabkan oleh virus IBD klasik atau vvIBD. Virus varian yang sangat ganas vvIBD tidak ditemukan di Australia dan Amerika Serikat.
Morbiditas dan mortalitas IBD bervariasi tergantung strain IBD dan species unggas yang terserang. Burung unta, itik, angsa, burung puyuh,kalkun dan burung merpati dilaporkan dapat terinfeksi virus IBD. Namun, lesi yang ditimbulkan pada itik dan burung puyuh yang diinfeksi dengan vvIBDv, lebih ringan dibandingkan dengan lesi yang terjadi pada ayam. Odema, fibrosis dan kista tidak ditemukan pada kalkun dan itik. Hal ini menunjukkan bahwa ayam lebih peka dari pada unggas yang lain. Namun demikian faktor apa yang menyebabkan ayam lebih peka dari pada unggas lainnya, hingga saat ini belum diketahui secara pasti.Mortalitas mencapai 56,09% pada ayam pedaging dan 25,08% pada ayam petelur.
Angka mortalitas lebih tinggi pada waktu musim dingin dari pada waktu musim semi atau musim panas dan musim hujan Hal ini dapat dipahami karena suhu udara yang ekstrim (terlalu dingin atau terlalu panas) menyebabkan ayam mudah stres, sehingga ayam mudah terinfeksi oleh virus. Pada infeksi buatan morbiditas IBD mencapai 60%. Bahkan morbiditas dapat mencapai 100% dan mortalitas 45% pada ayam specific pathogen free (SPF) umur 5 minggu yang diinfeksi dengan isolat vvIBDv asal Indonesia yaitu isolat Tasik Gm 11 IBDV pada ayam SPF dengan cara tetes mata menyebabkan kematian 100% Morbiditas dan mortalitas pada infeksi buatan pada ayam SPF umumnya tinggi karena ayam SPF tidak mempunyai antibodi maternal. Infeksi buatan menimbulkan lesi yang lebih parah jika dibandingkan dengan lesi yang disebabkan oleh infeksi alam karena pada percobaan buatan di laboratorium, virus diaplikasikan langsung pada ayam melalui tetes mata,hidung atau per oral, dengan dosis yang infektif,sehingga ayam terpapar langsung dengan virus IBD. Infeksi pada umumnya melalui oral bersama pakan yang tercerna virus masuk ke dalam usus. Virus kemudian ditangkap oleh sel makrofag atau limfosit sebagai Antigen Precenting Cell (APC). Keberadaan IBD dapat dideteksi 13 jam pi pada sebagian besar folikel. Proses apoptosis mulai terjadi setelah makrofag yang teraktivasi virus IBD melepaskan sitokin yaitu faktor tumor nekrosis α (TNFα) dan interleukin 12 (IL12) yang memicu Th (T helper) untuk berdiferensiasi menjadi Th1. Sel Th1 memproduksi IL2 dan IFN-γ. Interleukin12 bersama TNFα meningkatkan aktivitas sel natural killer (NK). Sementara itu, IL2 bersama interferon INF-γ memicu aktivasi cytotoxic T lymphocyt (CTL) yang kemudian mengekspresikan Fibrosis associated substrate (Fas) ligan yang dapat menimbulkan apoptosis pada sel target yang mengekspresikan Fas. Setelah 16 jam pi terjadi viremia kedua dan replikasi sekunder pada organ lainnya yang dapat menimbulkan kematian. Penyebab kematian belum diketahui secara pasti. Namun demikian pada fase akut teramati sindroma septic shock, dimana terjadi respon imun yang berlebihan, yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi TNF-α yang berlebihan di dalam serum darah ayam, yang kemudian diikuti terjadinya kematian. Infeksi virus IBD yang ganas menyebabkan kerusakan yang parah hingga terjadi deplesi sel limfoid pada folikel bursa Fabricius, sehingga ukuran bursa terlihat mengecil, hingga mencapai 1/4 – 1/5 dari ukuran bursa Fabricius pada ayam kontrol. Bila tidak terjadi penyembuhan pada bursa Fabricius ayam, akan menyebabkan hambatan produksi antibodi yang dibentuk oleh sel B. Selain itu pada infeksi IBD banyak sel makrofag dan sel heterofil yang mengalami nekrosis dan apoptosis menyebabkan fungsi fagositosis yang menurun. Kedua kondisi tersebut menyebabkan ayam yang terinfeksi IBD menjadi imunosupresif.
PATOGENESIS
Patogenesis adalah jalannya virus sehingga menimbulkan lesi, yang dapat menyebabkan kematian, penyakit atau efek imunosupresif pada ayam. Penyakit IBD menyerang ayam umur 3 – 6 minggu pada saat perkembangan bursa Fabricius mencapai optimum. Pada saat yang sama antibodi asal induk mulai menurun, sehingga ayam rentan terhadap infeksi virus IBD. Sebaliknya, penyakit IBD tidak membahayakan bagi ayam yang telah mengalami regresi bursa Fabricius, karena target sel virus IBD adalah sel limfoid bursa Fabricius yang sudah matang. Infeksi IBDv menyebabkan kerusakan pada bursa Fabricius yang berupa nekrosis dan apoptosis pada sel limosit B.
GEJALA KLINIS
Gejala klinis yang terlihat sangat tergantung dari strain virus yang menginfeksi ayam, jumlah virus,umur, galur ayam, rute inokulasi dan keberadaan antibodi penetralisasi. Virus yang masuk ke dalam tubuh ayam ditangkap makrofag, yang kemudian melepaskan sitokin yang menimbulkan respon inflamasi. Gejala klinis yang parah kemungkinan disebabkan respon proinflamasi yang tinggi pada saat infeksi, klinis ditimbulkan oleh infeksi IBD adalah ayam lesu, nafsu makan menghilang dan sayap menggantung.Selain itu juga sering ditemukan gejala diare, serta kotoran yang menempel pada kloaka. Pada ayam muda tanpa antibodi maternal, gejala klinis mulai terlihat pada 48 jam pi dan gejala klinis semakin parah pada 56 – 72 jam pi. Sementara itu, pada ayam yang divaksinasi, gejala klinis terlihat 3 hari pascatantang, dan ayam-ayam tersebut mati setelah 2 –3 hari memperlihatkan gejala klinis.Ayam yang bertahan hidup, pertumbuhan menjadi terhambat dan sering kali ditemukan infeksi sekunder seperti Newcastle Disease, Coli Bacillosis dan Coccidiosis.Wabah IBD akut yang disebabkan virus IBD klasik yang menyerang ayam pedaging umur > 3 minggu ditandai dengan angka morbiditas yang tinggi namun secara klinis terlihat ada penyembuhan setelah 5 – 7 hari ayam sakit. Infeksi pada ayam yang mempunyai antibodi maternal menunjukkan gejala subklinis, namun lesi dapat diamati secara histopatologi ditemukan odema yaitu pada 2 – 7 hari pascainfeksi berupa cairan gelatin yang menutup lapisan serosa. Bursa kemudian membesar pada umur 10 hari pi karena adanya eksudat pada lumen bursa yang awalnya berwarna kemerahan, pada tahap berikutnya menjadi berwarna kekuningan dan bintik-bintik perdarahan pada limpa. Perdarahan juga ditemukan pada otot dada dan otot paha mulai umur 2 hari hingga 7 hari. Pada 7 hari pibursa Fabricius ayam yang diinfeksi vvIBDv terlihat mengecil dibandingkan dengan bursa Fabricius ayam normal (Gambar 2), demikian juga pada 14 hari pi. Jika terjadi penyembuhan ukuran bursa kembali normal pada 21 hari pi. Mekanisme terjadinya perdarahan pada limpa, otot dada dan otot paha pada infeksi vvIBD belum diketahui dengan pasti. Perdarahan dapat terjadi jika terjadi kerusakan pada dinding pembuluh darah kapiler atau vena atau jika terjadi gangguan pada sistem pembekuan darah.
PATOLOGI
Gambaran patologi anatomi (PA) Perubahan patologi anatomi pada ayam yang diinfeksi virus IBD tergantung pada strain ayam dan isolat virus yang digunakan.
Perubahan histopatologik (HP)
Virus IBD dari strain yang amat ganas (vvIBDv) menyebabkan lesi yang parah, yang dapat teramati pada timus, limpa, bursa Fabricius, hati, ginjal,jantung, proventrikulus, gizard dan seka tonsil. Pada seka tonsil terjadi hiperplasia 6 jam pinekrosis sel timus terjadi secara ekstensif.
Pada area nekrosis ditemukan agregat sel dengan inti yang piknotik, sel debris dan reaksi fagosistosis pada sel epitel retikuler. Kapsula timus menebal dan daerah antar lobus melebar karena terjadi odema. Pada limpa dan seka tonsil sel limfosit banyak yang menghilang diganti dengan sel makrofag dan sel heterofil, ini menunjukkan ada reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi juga ditemukan pada ginjal, paru-paru dan seka tonsil. Lesi yang karasteristik ditemukan pada sumsum tulang.Sel hematopoitik banyak yang menghilang diganti dengan jaringan lemak dan banyak ditemukan nekrosis dan sisa-sisa reruntuhan sel. Di daerah sinusoid diinfiltrasi sel makrofag dan sel heterofil. Perubahan yang paling parah ditemukan pada bursa Fabricius. Lesi pada bursa Fabricius ditandai dengan odema dan pengosongan sel limfoid pada folikel bursa Fabricius, akumulasi heterofil pada folikel bursa Fabricius, fibrosis pada jaringan ikat antar folikel dan proliferasi sel retikuler endotelial. Odema mulai teramati 12 pi. Pada 24 jam pi terjadi degenerasi dan nekrosis limfosit di bagian medula folikel bursa Fabricius. Tahap selanjutnya terjadi penurunan jumlah sel limfoid pada folikel bursa bahkan beberapa folikel bursa Fabricius terlihat kosong.
Fibrosis dan kista pada folikel limfoid bursa Fabricius ditemukan 72 jam pi. Infiltrasi sel heterofil teramati pada 2 dan 3 hari pi, sedangkan populasi makrofag meningkat pada 1 – 5 hari pi. Replikasi virus mengakibatkan kerusakan yang parah pada sel limfoid pada bagian medula dan korteks pada bursa Fabricius. Apoptosis yang terjadi pada sel B di sekitar sel terinfeksi memperparah perubahanmorfologi bursa Fabricius
DIAGNOSIS
Diagnosis IBD dapat ditegakkan berdasarkan pada gejala klinis, perubahan patologi anatomi dan histopatologi. Perubahan patologi yang patognomonik adalah perubahan yang ditemukan pada bursa Fabricius. Namun demikian, diagnosis IBD sebagai penyebab primer perlu ditunjang dengan teknik diagnosis yang lain karena gejala infeksi virus IBD mirip dengan ND atau penyakit lain penyebab imunosupresif. Hal ini bisa diatasi dengan pewarnaan imunohistokimia, untuk mendeteksi keberadaan antigen virus IBD pada organ bursa Fabricius
KONTROL PENYAKIT
Pengendalian terhadap penyakit IBD yang efektif adalah dengan melakukan program vaksinasi yang teratur disertai dengan program biosekuritas, diikuti dengan deteksi titer antibodi untuk mengetahui keberhasilan vaksinasi dengan uji serum netralisasi atau ELISA.
VAKSINASI
Vaksinasi pada ayam pembibit merupakan langkah terpenting untuk mengendalikan IBD, karena antibodi yang diproduksi induk akan diturunkan melalui telur kepada anak. Antibodi maternal dengan titer yang baik akan memproteksi ayam melawan penyakit IBD. Sebagai contoh, program vaksinasi pada ayam petelur dapat dilakukan pada umur 12 sampai 15 hari dengan vaksin IBD aktif. Pada umur 30 – 33 hari dengan vaksin IBD aktif dan pada umur 85 hari dengan vaksin inaktif, serta pada umur 120 hari dengan vaksin inaktif (BUTCHER dan MILLES, 2003). Vaksinasi ulang pada umur 38 – 40 minggu dengan vaksin inaktif perlu dilakukan jika ayam pembibit mempunyai titer antibodi yang rendah atau tidak seragam. Monitoring titer antibodi perlu dilakukan secara rutin untuk mengetahui apakah ayam telah memberikan respon yang baik atau untuk mengetahui aplikasi vaksin sudah dilakukan dengan benar atau belum.Pencegahan dan pengendalian penyakit IBD pada ayam pedaging komersial diperlukan untuk mencegah penyakit IBD yang bersifat klinis. Ada tiga kategori vaksin yang digolongkan berdasarkan patogenisitasnya yaitu; mild, intermediate dan virulent. Tipe vaksin IBD intermediate paling umum digunakan. Vaksin ini dapat menstimulasi ayam pedaging dalam memproduksi antibodi lebih awal dari pada tipe vaksin mild, tanpa menyebabkan kerusakan bursa Fabricius seperti padatipe vaksin virulen. Waktu vaksinasi tergantung pada titer antibodi maternal pada anak ayam. Titer antibodi maternal yang tinggi akan menetralisasi virus yang berasal dari vaksin. Jadi hanya sedikit respon kekebalan aktif yang akan dihasilkan, sehingga ayam akan mudah terinfeksi penyakit karena antibodi menurun, dan vaksinasi kemungkinan menjadi tidak efektif jika ayam terkontaminasi dengan virus IBD lapang yang lebih virulen.Vaksinasi IBD pada embrio merupakan alternatif vaksinasi yang memberikan kelebihan dibandingkan dengan vaksinasi setelah menetas yang umum digunakan. Hal ini disebabkan karena pada vaksinasi inovo, titer antibodi maternal tidak perlu dimonitor untuk menentukan kapan vaksinasi harus dilakukan. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa vaksinasi inovo dengan virus yang telah diatenuasikan tidak merusak bursa Fabricius dan dapat memberikan proteksi hingga 100% pada ayam yang ditantang pada umur 3 minggu. Meskipun vaksinasi menyebabkan perubahan HP pada organ bursa namun penyembuhan lebih cepat terjadi pada ayam yang divaksin in ovo daripada yang divaksin pascamenetas. Namun, kelemahan vaksin ini adalah memerlukan alat vaksin masal dan ukuran telur yang seragam sehingga aplikasi vaksin tepat pada posisi yang diinginkan.
Biosekuritas
Selain vaksinasi pelaksanaan terhadap program biosekuritas yang juga merupakan faktor penting dalam meminimalkan kerugian akibat infeksi IBD. Cserep menyatakan bahwa pada peternakan yang bebas dari Gumboro subklinis akan mendapatkan keuntungan 25% lebih besar, dibandingkan pada peternakan yang ditemukan kasus gumboro subklinis.Upaya untuk melaksanakan biosekuritas dengan melakukan desinfeksi terhadap orang, peralatan atau kendaraan yang melintas antar kandang pada ayam pedaging komersial perlu dikontrol sehingga berjalan efektif untuk menurunkan paparan dari agen infeksi. Fenol dan formaldehid telah terbukti efektif digunakan untuk desinfeksi kandang dan lingkungan yang terkontaminasi. Antibiotik dengan jumlah seminimal mungkin diberikan pada kasus IBD yang disertai infeksi sekunder oleh bakteri. Namun hal ini tidak disarankan pada kasus yang disertai dengan kerusakan ginjal yang sangat parah. Pemberian larutan elektrolit atau multivitamin sangat bermanfaat pada kasus penyakit yang berlangsung lama yang disertai penurunan nafsu makan. Ventilasi yang baik, suhu ruangan yang hangat dan air minum yang bersih akan mengurangi kematian.Setelah ayam dipanen, kandang harus dikosongkan dari semua unggas. Semua litter, sisa pakan harus dibuang, kandang harus dibersihkan dan didesinfeksi. Fumigasi perlu dilakukan menggunakan formaldehyde dan Kalium permanganat. Kandang harus dikosongkan minimal 3 minggu setelah dilakukan fumigasi, untuk dapat digunakan lagi.
SURRA
Surra atau trypanosomiasis disebabkan oleh parasit darah Trypanasoma evansi yang patogen, seringnya menyerang ternak domestik seperti kuda, kerbau, dan sapi. Parasit ini hdup darah induk semang dan memperoleh asupan glukosa sehingga menurunkan kadar glukosa darah induk semangnya. Menurunnya kondisi tubuh akibat cekaman misalnya stres, kurang pakan, kelelahan, kedinginan dapat menjadi faktor pemicu kejadian penyakit ini.
Penularan terjadi secara mekanis dengan perantaraan lalat penghisap darah, seperti Tabanidae, Stomoxys, Lyperosia, Chrysops, dan Hematobia maupun jenis arthropoda lain seperti kutu dan pinjal. Gejala klinis akibat infeksi T. evansi yang dapat diamati antara lain demam, lesu, anemia, kurus, bulu rontok, keluar getah radang dari hidung dan mata, selaput lendir tampak menguning, jalan sempoyongan, kejang dan berputar-putar (mubeng) dikarenakan parasit berada dalam cairan Serebrospinal sehingga terjadi ganggaun syaraf.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) melalui Balai Besar Penelitian Veteriner (BB Litvet) sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No.34/Permentan/OT.140/3/2013 merupakan laboratorium rujukan nasional di bidang veteriner dan kesehatan masyarakat veteriner. Demikian halnya dengan yang disampaikan oleh Dr drh Hardiman MM, selaku Kepala BB Livet pada acara Diskusi Panel Penyakit Surra, Kamis (17/4) di Auditorium Balitbangtan.
Dalam acara diskusi tersebut, Balitbangtan menyatakan komitmennya untuk terus melakukan serangkaian kegiatan penelitian Surra. Menurut April Hari Wardhana SKH MSi PhD, salah satu peneliti Balitbangtan mengatakan saat ini institusinya memiliki isolat lokal T. evansi sebanyak 381 isolat yang dikoleksi dari kepulauan Indonesia dan disimpan di dalam nitrogen cair (cryopreservation).
Balitbangtan merupakan salah satu “bank T. evansi” di dunia, selain dimiliki negara Kenya dan Inggris. Koleksi isolat lokal tersebut diperkirakan bertambah dengan semakin merebaknya kasus Surra di lapangan. Laporan terkini hingga 16 April 2014 diperoleh 4 isolat T. evansi baru di Kalang Kampeng Sukanegara, Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang (12 ekor sampel yang dikoleksi, 4 diantaranya positif) sehingga menjadi 385 isolat.
Tahun 2010, Balitbangtan mampu mengidentifikasi perbedaan derajat patogenitas pada beberapa isolat yang dimiliki, sehingga dikelompokkan menjadi 3 galur antara lain galur patogenitas tinggi, rendah, dan moderat (campuran antara patogenitas tinggi dan rendah). Karakterisasi galur patogenitas tersebut tidak hanya sebatas secara parasitologi, namun dikembangkan dengan melihat profil protein, profil sitokin, gambaran hispatologis hingga pencarian marka molekuler untuk mendeteksi tingkat patogenitas suatu isolate T. evansi.
Uji Obat Surra
Beberapa metode sederhana juga dikembangkan untuk membantu petugas lapangan dalam penegakan diagnosa Surra, termasuk melakukan uji coba obat Surra sebelum obat diperdagangkan. Hasil-hasil penelitian ini sangat membantu dalam strategi pengendalian surra di lapangan. “Hasil uji coba nano teknologi dengan menggunakan logam yang terserap tubuh dengan melibatkan pihak perguruan tinggi (IPB) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Saat ini masih berlangsung kegiatan penelitian secara in vivo sebagai tindak lanjut dari hasil uji in vitro,” ungkap April.
Selain melakukan uji coba berbasis bahan kimia, Balitbangtan juga melakukan uji-uji obat berbasis herbal Hasil uji obat herbal untuk atasi Surra. April menerangkan hasil uji obat herbal untuk Surra secara in vitro dengan memanfaatkan ekstrak metanol daun kipahit dan teh hijau yang mampu membunuh T. evansi dalam waktu kurang dari 1 jam. “Pengobatan dengan ekstrak metanol daun kipahit dan teh hijau terhadap mencit yang diinfeksi T. evansi (isolat patogen tinggi) menunjukkan hasil yang hanya mampu menghambat pembelahan parasit tersebut di dalam darah, tetapi tidak dapat membersihkannya,” terang April. Lanjut dia, penujian menggunakan ekstrak metanol daun kipahit dan teh hijau terhadap mencit yang diinfeksi T. evansi (isolat patogen tinggi) mampu memperpanjang daya tahan hidup, 2 hari lebih lama dibandingkan dengan mencit kontrol yang diinfeksi T. evansi tanpa pengobatan.
Surra Apakah Zoonosis?
Kendati Surra tidak dikategorikan sebagai penyakit zoonosis, kasus Surra pada manusia dilaporkan terjadi di Sri Lanka pada tahun 1999 dan India tahun 2004. Laporan terbaru Surra menyerang peternak unta di Mesir tahun 2011.Mengapa Surra juga berpotensi sebagai penyakit zoonosis? Pertama, karena parasit telah mengalami mutasi, sehingga resisten terhadap faktor trypanolictic yang terdapat di dalam darah manusia. Kedua, penderita Surra memiliki kelainan faktor trypanolictic di dalam darahnya.
Terkait dengan potensi timbulnya Surra sebagai zoonosis, Balitbangtan melakukan uji coba serologis terhadap beberapa peternak di beberapa kawasan yang terinfeksi wabah Surra. Dari 24 sampel yang diuji, diperoleh 4 sampel positif terhadap antigen Surra. Hasil tersebut setidaknya mengindikasikan adanya kontak vektor Surra kepada peternak, yang kemungkinan dapat menjadi pintu awal adanya evolusi parasit terhadap manusia/ Nung.
SEJARAH
Penyakit Surra pertama kali ditemukan oleh Griffiths
Evans (1980) menginfeksi kuda di India, sehingga diberi
nama Trypanosoma evansi. Oleh Penning (1897) penyakit
yang menginfeksi kuda di Semarang ini memiliki kemiripan
dengan Trypanosoma evansi sebagai penyebab penyakit Surra.
Sebelum tahun tersebut diduga penyakit Surra sebagai
penyebab timbulnya banyak kematian kuda di Banten (1886
– 1888 ), di Tegal dan Cirebon (1886-1888) dan di Pulau Rote
(1894 – 1896). Oleh karena itu oleh de does ditetapkan bahwa
T. evansi penyebab penyakit mubeng pada kerbau dan sapi.
Laporan Penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran
Hewan dan Direktorat kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal
peternakan, Departemen Pertanian tahun 1976 menyebutkan
dalam tahun 1898 terjadi wabah Surra pada kerbau di
Karesidenan Tegal yang memakan korban sebanyak 500 ekor
dari 7.000 ekor populasi kerbau dalam waktu 3 bulan. Pada
saat itu Surra pada sapi hanya dijumpai sebagai kasus dan
hanya kadang-kadang saja terjadi. Wabah Surra pada sapi
terjadi dalam tahun 1900 dan 1901 yang timbul di karesidenan
Pasuruan. Selama kurang lebih 70 tahun setelah itu penyakit
Surra pada kuda, kerbau dan sapi dilaporkan hanya sebagai
kasus. Hal ini diduga karena campur tangan pemerintah dalam
urusan kehewanan yang dituangkan dalam Stabl No. 432 dan
no. 435 tahun 1912 dan instruksi-instruksi pelaksanaannya
Hanazara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar